SINARGUNUNG,COM, JAKARTA | Akhirmawati Zendratö salah satu pegiat sosial media dari Pulau Nias, dia mengatakan Hari ini saya dikagetkan dengan sebuah berita tentang “KEKERASAN”, yang di alami oleh salah satu relasi akibat salah tangkap oleh pihak Kepolisian. Seharian penuh beranda media sosial saya di penuhi oleh berita berita tersebut, Padahal sebelum nya saya sempat menulis tentang Kekerasan dan bagaimana langkah yang tepat dalam memutus rantai kasus-kasus kekerasan.
Dalam situasi ini Saya teringat akan sebuah peribahasa suku Nias atau Amaedola dalam bahasa Nias yaitu “Sokhi Mate Moroi Aila”.
Sempat berpikir dan bertanya dalam hati, mungkinkah jaman dulu kakek nenek moyang kita saat masih menganut agama kepercayaan sering menerapkan Amaedola ini sebagai bentuk hukuman bagi para pelaku kejahatan atau sebaliknya ketika jadi korban pelaku kejahatan. Katakan saja ketika menanggung rasa malu lalu bunuh diri atau ketika saudara nya jadi korban pelecehan lalu di suruh mati saja, kemudian ketika mengalami tindakan kekerasan seksual dengan kata lain pemerkosaan, di paksa nikah dengan pelaku nya? Padahal dia hanyalah korban yang tentu saja hak-hak kebebasan nya di ambil secara paksa, dan ketika merasa di permalukan dengan sengaja maupun tidak di sengaja oleh orang lain akan melakukan perlawanan dengan cara membunuh. Tujuan nya tidak lain dan tidak bukan, demi menutupi rasa malu.
Seandainya Amaedola ini muncul sebelum agama Kristen masuk ke pulau Nias, maka tentu Amaedola ini sudah tidak relevan lagi di jaman sekarang, dimana saat ini orang-orang sudah mengenal Tuhan nya dengan baik, sudah menerima Yesus sebagai Juruselamat nya.
Maka saya pribadi menyimpulkan bahwa sudah seharus nya orang yang mengenal Tuhan dengan baik dan menerima Yesus secara pribadi akan memilih “Lebih Baik Malu Dari Pada Mati”. Mengapa? Karena melakukan sebuah kesalahan baik di sengaja maupun tidak, masih dapat di perbaiki dan di maafkan, sementara orang yang sudah mati tidak akan bisa di hidupkan kembali agar memperbaiki kesalahan nya.
Tiada seorang pun manusia di dunia ini yang tidak berdosa, untuk itu lah Yesus mati di atas kayu salib “menghapuskan dosa umat manusia”, Tuhan tidak menyuruh kita apa bila merasa malu silahkan bunuh diri saja atau ketika anda merasa di permalukan silahkan membunuh.
Saya sedikit khawatir, Amaedola ini bisa jadi malah menyesatkan generasi muda Nias saat ini, bukan lagi di artikan sebagai Amaedola namun di jadikan sebagai sebuah doktrin yang menyesatkan, di jadikan sebagai pegangan atau prinsip hidup dalam bersosialisasi di tengah-tengah masyarakat majemuk.
“Sokhi Mate Moroi Aila” menurut saya akan lebih tepat jika konteks nya sedang berada dalam situasi peperangan melawan musuh atau penjajah, maka prinsip ini bisa saja di terapkan untuk membakar semangat para pasukan yang siap berperang, misal nya pantang pulang sebelum berperang, jangan menyerah sebelum berjuang, lebih baik mati dalam berperang dari pada pulang sebagai pengkhianat, dan dalam bahasa Nias “Sokhi Mate Moroi Aila”, hal ini tentu saja di benarkan secara hukum maupun adat dan juga agama, karena tidak dapat di pungkiri, di setiap peperangan melawan musuh pasti ada kehidupan dan kematian, ada kemenangan dan ada kekalahan. Sebagai pasukan yang di tugaskan tidak dapat memilih hidup atau mati, kecuali memilih mundur sebagai pengkhianat.
Beberapa kasus yang masih terjadi di pulau Nias saat ini, misal nya saja kasus perkelahian baik perorangan maupun kelompok, dengan mudah seseorang atau kelompok melakukan pembunuhan hanya karena tidak ingin malu akibat kekalahan yang menimpanya, lebih parah nya lagi memilih bunuh diri karena tidak sanggup menahan rasa malu. Bukan kah Amaedola ini telah menyesatkan banyak orang?
Saya sepakat bahwa amaedola ini tidak boleh di terjemahkan secara literal, akan tetapi pada kenyataan nya Amaedola ini telah menyesatkan begitu banyak orang, Amaedola ini sudah tidak lagi di tempatkan pada posisi nya, malah sebaliknya di pergunakan untuk melakukan pembelaan dalam rangka membenarkan sebuah kesalahan.
Kita kembali membahas kasus lain seperti korban kekerasan seksual atau pelecehan.
Bagaimana tindakan hukum nya?
Tentu saja sebagai warga negara yang baik, harus taat pada hukum yang berlaku, karena Pemerintah adalah wakil Tuhan di bumi ini untuk mengadili orang yang telah melanggar hukum.
Jadi sebaiknya, jika seseorang merenggut kemerdekaan anda jangan segan untuk membawa nya ke jalur hukum, bila di selesaikan secara kekeluargaan maka tempuh hukum adat yang berlaku, bila secara adat tidak dapat menyelesaikan persoalan maka silahkan tempuh jalur hukum yang berlaku di Negara.
Bunuh diri atau membunuh karena tidak ingin menanggung rasa malu, selain di tentang oleh hukum Negara juga di tentang oleh Agama karena perbuatan tersebut adalah kekejian di hadapan Tuhan.
Bagi saya prinsip “Sokhi Aila Moroi Mate” selaras dengan keteladanan yang diberikan oleh Tuhan Yesus, dimana Yesus sendiri rela menanggung rasa malu, di hina, di caci, di ludahi, di olok-olok dan di salibkan, akan tetapi sedikit pun Ia tidak membalasnya. Amaedola “Sokhi Mate Moroi Aila” sudah tidak ada relevansi nya di tengah-tengah kehidupan Kekristenan saat ini.
Bunuh diri atau mati karena merasa malu, sudah tidak relevan di tengah-tengah Kekristenan saat ini.
Sumber : Akhirmawati Zendratö
Umbu Channel
Sinargunung.com 2021