Sinargunung.com, Jakarta Barat | Pembangunan rumah duka dan krematorium di wilayah 003, RW 006, Kelurahan Tegal Alur, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, resmi dihentikan dengan cara penerbitan SP secepatnya demikian dikatakan oleh Asisten Pemerintah Kota Jakarta Barat. Keputusan ini diambil setelah audensi antara warga, tokoh agama, dan pemerintah terkait, menyusul dugaan Izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang diterbitkan oleh Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan (Citata) cacat hukum.
Audensi yang berlangsung pada Jumat, 27 September 2024, melibatkan berbagai pihak, termasuk Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Barat, Dinas Citata, kecamatan, kelurahan, serta Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta. Pertemuan bertujuan untuk menanggapi tuntutan warga yang tergabung dalam Aliansi Menceng Bersatu, yang secara tegas menolak pembangunan krematorium di kawasan tersebut.
Salah satu isu utama yang dibahas dalam audensi ini adalah terkait dengan Surat Keputusan Persyaratan Bangunan Gedung (SK-PBG) yang dikeluarkan oleh Dinas Citata.
Mas Temon, perwakilan dari Aliansi Menceng Bersatu, menyampaikan keberatan warga terhadap izin PBG tersebut. Menurutnya, izin yang diterbitkan tidak melalui proses yang transparan dan tidak mendapatkan persetujuan dari warga sekitar.
“Apakah penerbitan PBG ini sudah sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan tata ruang? Apakah ada persetujuan dari masyarakat? Tolong tunjukkan kepada kami dokumen persetujuannya, termasuk izin PBG tersebut,” tegas Temon dalam audensi.
Ia juga menambahkan kawasan tersebut adalah wilayah padat penduduk, sehingga perlu ada kajian lebih mendalam mengenai keserasian dan keseimbangan lingkungan.
Aliansi mempertanyakan apakah semua prosedur telah dipatuhi, terutama yang diatur dalam PP 9 tahun 1987 dan Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No. 3 Tahun 2017 yang melarang pembangun crematorium dipemukiman padat pendudung dan merusak lingkungan.
Temon menyatakan bahwa rencana pembangunan ini akan mempengaruhi kehidupan warga di sekitarnya, baik dari aspek sosial maupun lingkungan dan penerbitan ini terkesan diskriminasi terhadap kami warga,
Menurutnya, proses penerbitan izin ini seharusnya melibatkan partisipasi masyarakat setempat dan tidak boleh dilakukan secara sepihak. Ia juga menyoroti warga telah melakukan aksi demonstrasi beberapa kali, namun hingga kini, belum ada tanggapan yang memadai dari pihak terkait.
“Kami berharap agar aspirasi kami didengar tanpa birokrasi yang berbelit-belit. Kami ingin persoalan ini diselesaikan di audensi ini,” harap Temon mewakili warga.
Di sisi lain, pernyataan Kepala Dinas Citata Jakarta Barat, Heru S., terkait dengan penerbitan izin PBG memicu kemarahan dari warga yang mempertanyakan mengapa izin tersebut bisa diterbitkan tanpa persetujuan mereka. Warga merasa Dinas Citata tidak memperhatikan aspirasi dan keberatan masyarakat setempat.
Meskipun belum ada keputusan final terkait kelanjutan proyek pembangunan krematorium ini, hasil dari audensi menyepakati penghentian pembangunan. Keputusan ini diambil setelah berbagai bukti dan argumen dari warga dipaparkan, terutama terkait dengan ketidakvalidan surat persetujuan warga yang digunakan dalam proses perizinan.
“Hasil audensi menyimpulkan untuk menghentikan pembangunan, sambil menunggu proses selanjutnya,” kata salah satu anggota Aliansi yang enggan disebutkan namanya.
Warga berharap, dalam rapat selanjutnya, Pemkot Jakarta Barat dapat lebih serius mendengarkan aspirasi masyarakat dan mempertimbangkan dampak sosial serta lingkungan yang akan ditimbulkan dari pembangunan krematorium ini.
Meskipun pembangunan krematorium di Tegal Alur telah dihentikan, Aliansi Menceng Bersatu berkomitmen untuk terus memperjuangkan agar SK-PBG tersebut dicabut dan dibatalkan sepenuhnya. (Asrori)