Bolehkah Anak Laki-Laki jadi “Fangali Mboro Zisi” Selain Anak Laki-laki Tertua dalam Keluarga

  • Bagikan
Akhirmawati Zendratö

SINARGUNUNG.COM, JAKARTA | Akhirmawati Zendratö salah satu pegiat sosial media dari Pulau Nias, mengatakan  Begitu banyak orang Nias yang tidak tau apa itu “Fangali Mboro Zisi”,( Anak Sulung yang jadi penggati orang tua)  salah satunya saya. Tidak sedikit juga mereka yang telah memahami arti yang sesungguh nya namun dalam peran nya sebagai “Fangali Mboro Zisi” masih belum bisa dijadikan sebagai figur yang patut dicontoh.

 

Saya tertarik membahas lebih jauh sambil belajar tentang adat-adat Nias yang masih berlaku hingga saat ini. Berawal dari rasa penasaran ingin tau apa itu “Fangali Mboro Zisi” seperti apa perannya dalam keluarga dan sejauh mana keputusan nya sangat penting dan berdampak untuk kelangsungan hidup keluarga, apa kontribusi nya bagi adik-adik nya. Lalu bagaimana pula peran seorang ibu setelah ditinggalkan oleh suami (ayah).

Setelah saya pelajari dan ketahui ternyata menjadi seorang laki-laki sulung  bergelar “Fangali Mboro zisi”, tidaklah mudah. Di pundaknya terletak banyak tugas dan tanggung jawab yang harus di laksanakan.

“Fangali Mboro Zisi” menggantikan peran seorang ayah yang sudah almarhum buat seluruh adik-adik dan keluarga besar, terlebih dalam memutuskan segala sesuatu yang berhubungan dengan adat istiadat, pasti terasa sulit.

Sejauh mana keputusan “Fangali Mboro Zisi” menjadi penting, berdampak dan sah?

Keputusan seorang “Fangali Mboro zisi” akan menjadi penting dan sah bilamana kebijakan yang ia buat  adalah terbaik bagi mayoritas adik-adik dan keluarga besar, bukan keputusan yang memihak,  mendiskriminasi, bukan pula keputusan yang dibuat secara emosional, bukan berdasarkan ego dan bukan karena kepentingan pribadi.

Menjadi ayah atau ibu bagi anak-anak saja pasti tidak mudah, apalagi menjadi “Fangali Mboro zisi”. Saya sering mendengar dari orang tua peribahasa “lima duru, lo fa golo-golo wa’alawa” dalam bahasa Indonesia “Lima Jari Manusia, panjang nya tidak sama, ada yang panjang ada pula yang pendek”, tentu orang tua sudah sangat paham karakter setiap anaknya. Akan tetapi menjadi “Fangali Mboro zisi” tugasnya bisa lebih sulit, mengapa?

Baca juga : https://sinargunung.com/2021/05/30/peribahasa-nias-sokhi-mate-moroi-aila-sudah-tidak-relevan-di-tengah-tengah-kekristenan-saat-ini-benar-kah/?noamp=mobile

Fangali Mboro zisi, tidak saja menjadi pengambil keputusan dalam keluarga, tidak juga menjadi orang yang harus dipatuhi, dihormati, ditakuti melainkan menjadi “Role Model” dalam keluarga!!!.

Seorang pemimpin menjadi pribadi yang disegani oleh anak-anak nya, ditaati dan dihargai bukan karena kepribadian nya yang arogan, berani, keras, berbadan besar, berani mati, fisik nya kuat, kaya, punya jabatan, punya relasi banyak, pintar, berpendidikan tinggi. Tidak!!!

Seorang pemimpin harus bisa jadi teladan baik  yang bisa dicontoh, mampu mengarahkan,  merangkul, mengayomi, menyatukan yang terpisah, menjaga keterikatan, melindungi, bijaksana dalam keputusan nya, rendah hati, siap pasang badan demi keutuhan keluarga, mendekatkan yang jauh dan bukan malah memisahkan!!!.

Sungguh, jadi seorang pemimpin tidaklah mudah, saya sendiri pernah mengalaminya ketika punya usaha kecil-kecilan, saya memperkerjakan 8 orang karyawan, awalnya saya pikir mudah, setelah menjalaninya saya sadar, bahwa menjadi pemimpin itu tidak cukup dengan modal uang saja, tidak cukup juga dengan modal kekuasaan, karena yang dipimpin bukanlah robot, Ketika anda berkata A maka robot akan mengikuti A. Mempimpin manusia dengan berbagai karakter,  kebiasaan dan sifat tentu tidak sama cara nya ketika anda memimpin robot, memimpin keluarga tidak sama caranya ketika memimpin sebuah peleton, dimana ketika ada perintah komandan, pasukan akan menjawab nya “Siap dan!! Perintah dilaksanakan”. Tidak…! anda bukan seorang komandan dalam keluarga, anda adalah “Fangali Mboro Zisi”.

Kita perlu teladani bagaimana cara Tuhan memimpin umat-Nya. Tuhan memimpin manusia tidak sama seperti kita mengendalikan robot, Tuhan saja selalu memberi banyak pilihan kepada manusia, memilih surga atau pun neraka, apa lagi manusia tidak akan dapat memimpin lebih hebat dan lebih disiplin dari Tuhan.

Apakah keputusan seorang ibu sudah tidak penting lagi setelah ditinggal oleh suami (ayah) ?

Setiap kampung tentu punya adat dan kebiasaan yang berbeda-beda, tetapi menurut pandangan saya pribadi, selama seorang ibu masih hidup didunia ini, maka keputusannya sah dan kuat karena anak-anak di lahirkan bukan dari perut seorang “Fangali Mboro Zisi”, melainkan dari kandungan seorang ibu, walau pun keputusan seorang ayah atau ibu tidak lah selalu benar, akan tetapi peran ibu sebagai orang tua bagi anak-anak nya sangat dibutuhkan, bagaimana pun tidak ada yang dapat menggantikan posisi orang tua di hati seluruh anak-anak nya.

Sebagai ibu harus bijaksana dan objektif dalam menilai terlebih dalam memutuskan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan keluarga, bukan karena rasa takut, bukan karena ancaman atau bukan pula karena intervensi dari anak-anak nya.

Akhir kata “Letakan Firman Tuhan” di posisi paling atas dalam kepemimpinan mu, niscaya secara natural orang akan menghormati mu sebagai figur yang dirindukan semua orang. Adat memang benar, tetapi Firman Tuhan Ya dan Amin.

Sumber : Akhirmawati Zendratö

SINARGUNUNG.COM 2021

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *